Jikamenggunakan pewarna serbaguna atau pewarna asam, masukkan satu kemasan bubuk atau 1 botol pewarna cair untuk setiap 1/2 kg kain yang ingin diwarnai. Jika menggunakan serbuk minuman ringan, masukkan seluruh isi yang ada di kemasan. Apabila Anda menggunakan pewarna makanan, tambahkan kira-kira 10 tetes untuk mendapatkan warna yang terang.
Bahan alami yang digunakan sebagai pewarna kain, diharapkan dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat penggunaan warna sintetis. Pulutan mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin. Tumbuhan yang mengandung tanin dan flavonoid merupakan pigmen tumbuhan penimbul warna yang dapat dijadikan pewarna alam. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ketuaan warna dan ketahanan luntur dari zat warna alam pulutan pada kain rayon viskosa. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Kain sebelum diwarnai diberi perlakuan pre mordanting menggunakan tawas, kapur tohor dan tunjung dengan konsentrasi 50gr/l. Pewarnaan dilakukan dengan cara merendam kain dalam waktu 30 menit, kemudian dijemur dan diulangi hingga frekuensi pencelupan 15 kali. Hasil pencelupan diuji nilai ketuaan warna dan ketahanan luntur yang dihasilkan.. Hasil uji ketuaan warna nilai tertinggi terdapat pada mordan tunjung, kemudian disusul mordan tawas dan nilai paling rendah adalah mordan kapur tohor. Ketahanan luntur paling baik diperoleh pada penggunaan mordan tunjung dan mordan kapur tohor, ketahanan luntur sedang diperoleh pada penggunaan mordan tawas. Simpulan dari penelitian ini adalah pulutan berpotensi sebagai pewarna alami dan jenis mordan berpengaruh terhadap hasil pewarnaan. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 9 TEKNOBUGA Vol. 8 2020 JURNAL TEKNOLOGI BUSANA DAN BOGA Pembuatan Pewarna Tekstil Ekstrak Pulutan Urena Lobata L untuk Pencelupan Kain Rayon Viskosa Febbi Aliffianti dan Adhi Kusumastuti Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang, Kampus Sekaran Gunung Pati, Semarang febbyaliffianti dan Abstract. Natural dyes used for fabric dyeing are expected to reduce environmental pollution by the use of synthetic colors. Caesarweed contains alkaloids, flavonoids, saponins and tannins. Tannins and flavonoids contained in the plants are among pigments that can be used as natural dyes. This research was conducted to determine quality of color strength and fastness of caesarweed on viscose rayon fabric. This research used descriptive qualitative analysis method. Dyeing process was done after pre mordanting using alum, lime and tunjung with a concentration of 50gr / l. Fabric dyeing was done by soaking the fabric for 30 minutes, then dried and repeated 15 times. The dyeing were tested for color strength and color fastness. The color strength test showed that the value was found mordan in the order of the tunjung, alum, and lime respectively. While the color fastness resistance was the order of tunjung, lime and alum respectively. Based on the result of dyeing from caesarweed have the potential to be used as natural dyes and mordan type affected the results. Keywords Caesarweed, natural dyes, viscose rayon.. Abstrak. Bahan alami yang digunakan sebagai pewarna kain, diharapkan dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat penggunaan warna sintetis. Pulutan mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin. Tumbuhan yang mengandung tanin dan flavonoid merupakan pigmen tumbuhan penimbul warna yang dapat dijadikan pewarna alam. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ketuaan warna dan ketahanan luntur dari zat warna alam pulutan pada kain rayon viskosa. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Kain sebelum diwarnai diberi perlakuan pre mordanting menggunakan tawas, kapur tohor dan tunjung dengan konsentrasi 50gr/l. Pewarnaan dilakukan dengan cara merendam kain dalam waktu 30 menit, kemudian dijemur dan diulangi hingga frekuensi pencelupan 15 kali. Hasil pencelupan diuji nilai ketuaan warna dan ketahanan luntur yang dihasilkan.. Hasil uji ketuaan warna nilai tertinggi terdapat pada mordan tunjung, kemudian disusul mordan tawas dan nilai paling rendah adalah mordan kapur tohor. Ketahanan luntur paling baik diperoleh pada penggunaan mordan tunjung dan mordan kapur tohor, ketahanan luntur sedang diperoleh pada penggunaan mordan tawas. Simpulan dari penelitian ini adalah pulutan berpotensi sebagai pewarna alami dan jenis mordan berpengaruh terhadap hasil pewarnaan. Kata Kunci Pulutan, pewarna alami, rayon viskosa. 10 PENDAHULUAN Seni aplikasi warna telah dikenal manusia mulai dari jaman dahulu. Pada 3500 SM manusia telah menggunakan zat pewarna alami yang diekstrak dari sayuran, buah-buahan, bunga, dan serangga Kant, 2012. Warna dapat memotivasi, menggairahkan, menarik perhatian dan memberikan penekanan. Warna telah lama dianggap hanya untuk hiasan atau dekorasi. Tetapi jika digunakan secara tepat maka warna dapat membantu memberikan secara visual untuk informasi yang kompleks. Hal ini dapat menjadikan suatu objek yang menarik, mencerahkan sehingga membentuk nilai tambah. Zat pewarna berfungsi untuk pewarnaan pada proses model nyoga. Ditinjau dari sumber diperolehnya zat warna tekstil dibedakan menjadi 2 dua yaitu zat warna alam dan zat warna sintetis. Zat pewarna alam diperoleh dari alam yaitu berasal dari hewan lac dyes ataupun tumbuhan dapat berasal dari akar, batang, daun, kulit, dan bunga. Zat pewarna sintetis adalah zat buatan atau zat warna kimia Pringgenies, 2013. Penemuan-penemuan zat warna sintesis semakin meluas, banyak bermunculan seperti zat warna napthol, zat warna belerang, zat warna direk, zat warna bejana, dan zat warna reaktif. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini menyebabkan pemakaian pewarna alami terdesak oleh pewarna sintetis, terutama di negara-negara industri maju zat pewarna alami sudah tidak memiliki nilai ekonomis yang penting. Penggunaaan zat pewarna sintesis walau mempunyai keunggulan dengan tersedianya variasi warna, akan tetapi penggunaan zat pewarna sintesis dapat memberikan dampak yang buruk baik pada lingkungan maupun dalam tubuh manusia. Pencemaran lingkungan yang diakibatkan dari limbah penggunaan zat pewarna sintesis dalam proses pencelupan memberikan dampak pada ekosistem yang ada di dalam air. Disisi lain menggunakan bahan pewarna sintesis dalam proses pencelupan memiliki sejumlah kelemahan, diantaranya dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan sekitarnya Torachman, 2009. Banyaknya kasus pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah penggunaan zat warna sintesis dalam proses pencelupan, menyebabkan pemerintah melarang penggunaan zat warna sintesis yang berlebihan. Zat warna alam sudah dikenal dan diterima sebagai bahan pewarna yang tidak membahayakan, untuk itu zat warna alam mulai marak sebagai pengganti alternatif bagi zat warna sintesis. Bangsa Indonesia kaya akan keanekaragaman tanaman baik dari segi varietas maupun jumlahnya. Keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan kurang optimalnya pemanfaatan sumber daya alam tersebut, sehingga masyarakat hanya mengetahui sebagian jenis tanaman sebagai obat tradisional dan sayuran serta bahan bakar saja. Tanaman yang digunakan pada bidang tekstil untuk saat ini jumlahnya masih terbatas sedangkan tumbuh-tumbuhan yang berpotensi untuk dikembangkan dan dimanfaatkan menjadi zat warna tekstil masih banyak yang belum diteliti. Gunungpati termasuk daerah pegunungan di Semarang di mana masih banyak kebun dan hutan, banyak tanaman gulma yang tumbuh di kebun ataupun di hutan daerah Gunungpati, salah satunya adalah pulutan. Tanaman pulutan belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, kebanyakan pulutan hanya digunakan oleh masyarakat untuk makanan ternak. Namun ada juga yang menggunakan pulutan untuk obat herbal. Pulutan mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin. Tumbuhan yang mengandung tanin dan flavonoid merupakan pigmen tumbuhan penimbul warna yang dapat dijadikan pewarna alam atau zat warna alam. Pulutan mengandung pigmen warna flavonoid dan tanin pada daun maupun batang tanaman, maka tanaman akan menghasilkan warna. Mempertimbangkan kandungan pewarna dalam pulutan, maka dilakukan penelitian pemanfaatan ekstrak pulutan pada pewarnaan kain rayon viskosa. . METODE Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data-data dengan tujuan dan kegunaan tertentu Sugiyono, 2016. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen adalan suatu metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan Sugiyono, 2016. Jenis eksperimen dalam penelitian ini adalah Quasi Eksperimen Design. Penelitian Quasi Eksperimen Design adalah pengembangan dari True Eksperimen Design mempunyai kelompok kontrol , tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen Sugiyono, 2016. Eksperimen yg dilakukan adalah percobaan pewarnaan menggunakan ekstrak pulutan menggunakan kain rayon viskosa dengan proses pre mordanting dengan mordan tawas, tunjung, dan kapur tohor. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari tiga variabel, antara lain 1 Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis mordan yang digunakan bervariasi yaitu tawas, tunjung, dan kapur tohor. 2 Variabel terikat dalam penelitian ini adalah ketuaan warna, ketahanan luntur terhadap pencucian sabun, dan penodaan. 3 Variabel kontrol meliputi 1 Kain yang digunakan rayon viskosa. 2 Lama pencelupan 30 menit. 3 Frekuensi pencelupan 15x. 4 Teknik ekstraksi perebusan. 5 Temperatur ekstraksi 100°. 6 Waktu mordanting 20 menit. 11 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Deskriptif Ketuaan Warna R% Ketuaan warna digunakan untuk mengetahui perbandingan antara besarnya larutan terhadap berat bahan tekstil yang diproses. Warna-warna tua dapat dihasilkan dengan memakai perbandingan celup yang kecil dengan harapan zat warna yang terbuang atau hilang hanya sedikit. Parameter pengujian nilai ketuaan warna pada hasil pencelupan kain rayon viskosa dengan ekstrak pulutan menggunakan spectopothometer UV-PC Model ISR-2200. Hasil pengujian terhadap ketuaan warna yang telah dilakukan diperoleh dalam Tabel 1. Tabel 1. Nilai Uji Ketuaan Warna T% Sampel pencelupan dengan variasi mordan Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai R% sampel kain rayon viskosa yang sudah dicelup ekstrak pulutan dan diberi mordan tawas dalam uji coba ke 1 menghasilkan nilai pada uji coba ke 2 menghasilkan nilai sedangkan uji coba ke 3 menghasilkan nilai Nilai rata-rata keseluruhan uji coba adalah sehingga hasil Mean T% 100-R% adalah dengan kriteria ketuaan warna sedang. Kain rayon viskosa yang sudah dicelup ekstrak pulutan dan diberi mordan kapur tohor dalam uji coba ke 1 menghasilkan nilai pada uji coba ke 2 menghasilkan nilai sedangkan uji coba ke 3 menghasilkan nilai Nilai rata-rata keseluruhan uji coba adalah sehingga hasil Mean T% 100-R% adalah dengan kriteria ketuaan warna sedang. Kain rayon viskosa yang sudah dicelup ekstrak pulutan dan diberi mordan tunjung dalam uji coba ke 1 menghasilkan nilai pada uji coba ke 2 menghasilkan nilai sedangkan uji coba ke 3 menghasilkan nilai Nilai rata-rata keseluruhan uji coba adalah sehingga hasil Mean T% 100-R% adalah dengan kriteria ketuaan warna sangat tua. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan ketuaan warna yang signifikan dalam penggunaan mordan tawas, kapur tohor dan tunjung terhadap hasil pencelupan kain rayon viskosa dengan ekstrak warna tanaman pulutan. Tingkat ketuaan warna kain rayon viskosa menggunakan mordan tunjung menghasilkan warna yang lebih tua dari pada tawas dan kapur tohor. Hal ini dikarenakan mordan tunjung mengandung zat besi yang menyebabkan timbulnya warna yang lebih tua. Dari hasil uji ketuaan warna T% nilai tertinggi terdapat pada mordan tunjung dengan nilai T% sangat tua, kemudian disusul mordan tawas dengan nilai sedang dan nilai paling rendah adalah mordan kapur tohor warna dengan nilai sedang. Secara grafik, nilai ketuaan warna tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. 12 Gambar 1. Ketuaan Warna Ekstrak Gulma Pulutan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan dari pemakaian mordan yang berbeda dengan konsentrasi mordan sama yaitu 50gr/l dalam aspek ketuaan warna rayon viskosa dengan pencelupan sebanyak 15 kali. Hasil Analisis Deskriptif Ketahanan Luntur 1. Ketahanan Luntur Warna terhadap Pencucian Sabun Standar skala abu-abu Grey Scale digunakan untuk menilai perubahan warna pada uji coba tahan luntur warna. Nilai dari Grey Scale menentukan tingkat perbedaan atau konsentrasi warna dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi. Standar Grey Scale terdiri dari 9 pasang lempeng standar abu-abu dan setiap pasang menunjukkan perbedaan atau kekontrasan warna yang sesuai dari deretan standar perubahan warna yang digambarkan dan dinyatakan dengan rumus kekromatikan adam. Berdasarkan hasil penelitian terhadap ketahanan luntur terhadap pencucian sabun yang telah dilakukan diperoleh hasil dalam Tabel 2. Tabel 2. Nilai Uji Ketahanan Luntur Warna terhadap Pencucian Sabun Sampel pencelupan dengan variasi mordan Nilai uji kelunturan terhadap pencucian sabun Tabel 2. menunjukkan bahwa nilai uji ketahanan luntur sampel kain rayon viskosa yang sudah dicelup ekstrak pulutan dan diberi mordan tawas dalam uji coba ke 1 menghasilkan nilai 3, pada uji coba ke 2 menghasilkan nilai 3, sedangkan uji coba ke 3 menghasilkan nilai 3. Nilai rata-rata keseluruhan uji coba adalah 3 dengan kriteria ketahanan luntur cukup. Kain rayon viskosa yang sudah dicelup ekstrak pulutan dan diberi mordan kapur tohor dalam uji coba ke 1 menghasilkan nilai 3-4, pada uji coba ke 2 menghasilkan nilai 3-4, sedangkan uji coba ke 3 menghasilkan nilai 3-4. Nilai rata-rata keseluruhan uji coba adalah 3-4 dengan kriteria ketahanan luntur cukup baik. Kain rayon viskosa yang sudah dicelup ekstrak pulutan dan diberi mordan kapur tohor dalam uji coba ke 1 menghasilkan nilai 3-4, pada uji coba ke 2 menghasilkan nilai 3-4, sedangkan uji coba ke 3 menghasilkan nilai 3-4. Nilai rata-rata keseluruhan uji coba adalah 3-4 dengan kriteria ketahanan luntur cukup baik. Pengujian tahan luntur warna dilakukan dengan mengamati adanya perubahan warna asli dari contoh uji, menggunakan standar grey scale untuk menilai perubahan warna pada sampel. Berdasarkan data dari tabel nilai uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian dari mordan tawas, kapur tohor dan tawas tidak memiliki perbedaan yang 13 signifikan, yaitu diperoleh nilai rata-rata 3-4 dalam kategori cukup baik. Hal ini menunjukkan bahwa ekstraksi pulutan yang diaplikasikan pada kain rayon viskosa cukup bagus. Berdasarkan hasil penelitian serta uji laboratorium menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada kualitas ketahanan luntur warna terhadap pencucian kain rayon viskosa yang dicelup ekstrak pulutan dengan mordan tawas, kapur tohor, dan tunjung. Secara umum nilai perubahan warna atau ketahanan luntur warna terhadap pencucian dengan kriteria cukup baik. Hal ini disebabkan besarnya konsentrasi larutan mordan tawas, kapur tohor, dan tunjung sama besar, yaitu 50gr/l. Ditinjau dari ketahanan luntur warna terhadap pencucian kain rayon viskosa ekstrak pulutan dengan mordan tawas, kapur tohor, dan tunjung melalui uji laboratorium tidak memeroleh hasil yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas kain rayon viskosa dengan ekstrak warna pulutan dengan mordan tawas, kapur tohor, dan tunjung memiliki kualitas yang hampir sama cukup baik meski masing-masing sampel telah diuji sebanyak 3 kali. Mengacu dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak warna dari pulutan dapat digunakan sebagai pewarna alami dalam pencelupan kain rayon viskosa menggunakan mordan tawas, kapur tohor dan tunjung pada konsentrasi 50g/l untuk memeroleh kualitas tahan luntur terhadap pencucian yang cukup baik. 2. Ketahanan Luntur Warna terhadap Penodaan Berdasarkan Tabel 3. menunjukkan bahwa nilai uji ketahanan luntur terhadap penodaan sampel kain rayon viskosa yang sudah dicelup ekstrak pulutan dan diberi mordan tawas dalam uji coba ke 1 menghasilkan nilai 4-5, pada uji coba ke 2 menghasilkan nilai 4-5, sedangkan uji coba ke 3 menghasilkan nilai 4-5. Nilai rata-rata keseluruhan uji coba adalah 4-5 dengan kriteria ketahanan luntur baik. Tabel 3. Nilai Uji Ketahanan Luntur Warna terhadap Penodaan. Sampel pencelupan dengan variasi Nilai uji kelunturan terhadap Kain rayon viskosa yang sudah dicelup ekstrak pulutan dan diberi mordan kapur tohor dalam uji coba ke 1 menghasilkan nilai 4-5, pada uji coba ke 2 menghasilkan nilai 4-5, sedangkan uji coba ke 3 menghasilkan nilai 4-5. Nilai rata-rata keseluruhan uji coba adalah 4-5 dengan kriteria ketahanan luntur baik. Kain rayon viskosa yang sudah dicelup ekstrak pulutan dan diberi mordan kapur tohor dalam uji coba ke 1 menghasilkan nilai 4-5, pada uji coba ke 2 menghasilkan nilai 4-5, sedangkan uji coba ke 3 menghasilkan nilai 4-5. Nilai rata-rata keseluruhan uji coba adalah 4-5 dengan kriteria ketahanan luntur baik. Pengujian tahan luntur warna dilakukan dengan mengamati adanya perubahan warna asli dari contoh uji, menggunakan standar staining scale untuk menilai penodaan warna pada kain putih, berdasarkan data dari tabel nilai uji ketahanan luntur warna terhadap penodaan dari mordan tawas, kapur tohor dan tawas tidak memiliki perbedaan yang signifikan, yaitu diperoleh nilai rata-rata 4-5 dalam kategori baik. Hal ini menunjukkan bahwa ekstraksi pulutan yang diaplikasikan pada kain rayon viskosa cukup bagus. Berdasarkan hasil penelitian serta uji laboratorium menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada kualitas ketahanan luntur warna terhadap penodaan kain rayon viskosa yang dicelup ekstrak pulutan dengan mordan tawas, kapur tohor, dan tunjung. Secara umum nilai perubahan warna atau ketahanan luntur warna terhadap penodaan dengan kriteria baik. Hal ini disebabkan besarnya konsentrasi larutan mordan tawas, kapur tohor dan tunjung sama besar, yaitu 50gr/l. Ditinjau dari ketahanan luntur warna terhadap penodaan kain rayon viskosa ekstrak pulutan dengan mordan tawas, kapur tohor, dan tunjung melalui uji laboratorium tidak memperoleh hasil yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas kain rayon viskosa dengan ekstrak warna pulutan dengan mordan tawas, kapur tohor, dan tunjung memiliki kualitas yang sama baik meski masing-masing sampel telah diuji sebanyak 3 kali. 14 Mengacu dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak warna dari pulutan dapat digunakan sebagai pewarna alami dalam pencelupan kain rayon viskosa menggunakan mordan tawas, kapur tohor, dan tunjung pada konsentrasi 50g/l untuk memeroleh kualitas tahan luntur terhadap penodaan yang baik. Pembahasan Pembahasan hasil penelitian ini akan menjelaskan tentang pengaruh jenis mordan terhadap kualitas kain rayon viskosa yang dicelup menggunakan ekstrak pulutan yang diuji melalui uji uji ketuaan warna, dan uji ketahanan luntur terhadap pencucian sabun dan penodaan. Ekstrak pulutan merupakan pewarna alami yang dapat digunakan sebagai alternatif zat warna alam yang mudah masuk ke dalam serat kain. Kain yang dicelup merupakan kain yang berasal dari serat alam yaitu kain rayon viskosa. Kain rayon viskosa berasal dari serat kayu. Pencelupan dengan zat warna alam memerlukan zat yang mampu menambah kekuatan warna disebut dengan mordan, dan prosesnya disebut mordanting. Mordan yang digunakan dalam eksperimen ini adalah mordan tawas, tunjung, dan kapur tohor. Beberapa permasalahan pada penggunaan pewarna alam untuk tekstil adalah terbatasnya nuansa warna yang dihasilkan, hasil reproduksi, masalah pencampuran, dan sifat tahan luntur warna yang tidak memadai Sachan, 2007 Siva, 2007. Masalah tersebut dapat diatasi dengan menggunakan garam logam atau mordan yang menghasilkan afinitas antara kain dan pewarna Vankar, 2009 Samanta, 2009. Proses mordan adalah perlakuan serat tekstil dengan garam-garam logam atau zat bahan pembentuk kompleks lainnya yang mengikat bahan pewarna alam ke dalam serat tekstil. Proses mordan dapat dilakukan dengan pre-mordan, simultan mordan, atau post-mordan Samanta, 2009. Perbedaan jenis dan kombinasi mordan dapat diaplikasikan pada serat tekstil untuk mendapatkan variasi atau nuansa warna yang berbeda Samanta, 2009. 1. Pengujian Ketuaan Warna Hasil uji ketuaan warna pada kain rayon viskosa yang dicelup ekstrak pulutan menunjukkan bahwa seluruh sampel menghasilkan warna yang berbeda tergantung dari pemberian jenis mordan. Sampel dari pencelupan ekstrak pulutan dan diberi mordan kapur tohor menghasilkan warna yang paling muda. Kemudian sampel dengan mordan tawas menghasilkan warna yang lebih tua dibandingkan dengan sampel mordan kapur tohor. Sedangkan sampel kain rayon viskosa yang dicelup ekstrak pulutan dan diberi mordan tunjung menghasilkan warna yang paling tua. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Nissa 2017 di mana ada pengaruh ketuaan warna yang dihasilkan oleh pemberian mordan yang berbeda. Sampel dari pencelupan ekstrak kulit pisang kepok dan diberi mordan tawas menghasilkan warna yang paling muda, sedangkan sampel kain rayon viskosa yang dicelup ekstrak kulit pisang kepok dan diberi mordan tunjung menghasilkan warna yang paling tua. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Subositi 2016 di mana kualitas hasil ketuaan warna gulma alang-alang, sembung rambat, dan rumput paitan menggunakan mordan tawas, tunjung, dan kapur tohor menunjukkan mordan tunjung menghasilkan warna paling tua pada masing-masing gulma. Hal ini diakibatkan oleh mordan tunjung mengandung molekul besi sehingga warna yang muncul lebih tua. Warna paling muda ditunjukkan oleh mordan kapur tohor yang mengandung kalsium. Daya ikat warna kalsium yang lemah mengakibatkan warna yang muncul cenderung muda. Penggunaan mordan tunjung, tawas, dan kapur tohor untuk menguatkan warna tidak mencemari lingkungan karena termasuk zat ramah lingkungan, baik untuk kesehatan karena tidak mengandung racun dan zat berbahaya bagi penggunanya. Sampel yang diberi mordan tawas menghasilkan warna paling terang karena sifat dari tawas yang asam sehingga melunturkan warna sehingga warna menjadi lebih muda daripada sampel dengan mordan kapur tohor. Sampel yang diberi mordan kapur tohor menghasilkan warna lebih tua karena sifat basa dari kapur yang mampu mengikat warna dan memperkuat warna. Sampel yang diberi mordan tunjung menghasilkan warna paling gelap dibandingkan dengan sampel dengan mordan tawas maupun sampel dengan mordan kapur tohor. Warna yang dihasilkan ini dipengaruhi oleh tunjung yang mengandung besi, sulfur, dan oksigen. Kekuatan warna dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi mordan yang digunakan Das D., 2007. Fungsi dari larutan fixer mordan pada pewarnaan tekstil yang menggunakan pewarna alam adalah untuk meningkatkan ketuaan atau intensitas warna dan memperkuat ikatan antar serat dan zat warna, sehingga dapat mencegah degradasi pigmen warna Suheryanto, 2010. 2. Pengujian Ketahanan Luntur Warna terhadap Pencucian Sabun Berdasarkan hasil penelitian tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada kualitas ketahanan luntur warna terhadap pencucian sabun melalui perubahan warna grey scale pada penggunaan mordan tunjung, tawas dan kapur tohor terhadap hasil pencelupan kain rayon viskosa dengan ekstrak pulutan. Hasil pengujian ketahanan luntur warna terhadap pencucian sabun pada kain rayon viskosa yang dicelup menggunakan ekstrak pulutan pada umumnya cukup baik. Proses pencucian diharapkan dapat membersihkan zat warna yang tidak terserap oleh kain dan kotoran 15 yang menempel pada kain. Nilai perubahan warna dari seluruh sampel ternyata sampel yang diberi mordan tunjung dan kapur tohor lebih baik dibandingkan dengan yang diberi mordan tawas. Penelitian ketahanan luntur terhadap pencucian sabun ini lebih baik daripada penelitian yang dilakukan oleh Chintya dan Utami 2017 yang hanya mendapatkan nilai ketahanan luntur 3 cukup disetiap sempel kain katun prima dengan berbagai mordan yang diwarnai oleh ekstrak daun sirsak dan Anzani et al 2016 yang hanya mendapatkan nilai ketahanan luntur 3 cukup disetiap sempel kain mori primissima dengan berbagai mordan yang diwarnai oleh ekstrak daun sirsak. 3. Pengujian Ketahanan Luntur Warna terhadap Penodaan Berdasarkan hasil penelitian tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada kualitas ketahanan luntur warna terhadap penodaan melalui perubahan warna staining scale pada penggunaan mordan tunjung, tawas, dan kapur tohor terhadap hasil pencelupan kain rayon viskosa dengan ekstrak pulutan. Hasil pengujian ketahanan luntur warna terhadap penodaan pada kain rayon viskosa yang dicelup menggunakan ekstrak pulutan pada umumnya baik. Proses pencucian diharapkan dapat membersihkan zat warna yang tidak terserap oleh kain dan kotoran yang menempel pada kain. Penelitian ini sama hasilnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Chintya dan Utami 2017 yang mendapatkan nilai 4-5 baik disetiap sempel kain katun prima dengan berbagai mordan yang diwarnai oleh ekstrak daun sirsak. SIMPULAN Simpulan yang diperoleh dalam penelitian ini meliputi 1 Pulutan Urena lobata L dapat dijadikan sebagai pewarna pada kain rayon viskosa serat selulosa dengan mordan tawas, kapur tohor dan tunjung. 2 Hasil uji ketuaan warna T% nilai tertinggi terdapat pada mordan tunjung dengan nilai T% sangat tua, kemudian disusul mordan tawas dengan nilai T% sedang dan nilai paling rendah adalah mordan kapur tohor warna dengan nilai T% sedang. 3 Hasil pengujian ketahanan luntur warna terhadap pencucian sabun menghasilkan nilai rata-rata 3-4 yang masuk dalam kategori cukup baik dan pengujian ketahanan luntur terhadap penodaan menghasilkan nilai rata-rata 4-5 yang termasuk kategori baik. DAFTAR PUSTAKA 1. Angendari, M. D. 2015. Pemanfaatan Kulit Bawang Merah Sebagai Pewarna Kain dengan Teknik Jumputan Menggunakan Mordan Tawas, Kapur dan Tunjung. Jurnal PTK Universitas Pendidikan Ganesha, 35-46. 2. Anzani, S. D. 2016. PEwarna Alami Daun SIrsak Annona muricata L untuk Kain Mori Primissima Kajian Jenis dan Konsentrasi Fiksasi. Jurnal Teknologi dan Manajemen Agroindustri, 132-129. 3. Chintya, N. &. 2017. Ekstraksi Tannin Dari Daun Sirsak Annona muricata L Sebagai Pewarna Alami Tekstil. Jurnal Cis-Trans, 22-29. 4. Das D., M. S. 2007. Dyeing of wool and Silk with Bixa Orellana. Indian Journal of Fibre and Textile Research, 366-372. 5. Ismarani. 2012. Potensi Senyawa Tannin dalam Menunjang Produksi Ramah Lingkungan . Jurnal Agribisnis dan Pengembangan, 46-55. 6. Kant, R. 2012. Textile Dyeing Industry an Environmental Hazard. Open Access Journal Natural Science, 22-26. 7. Nisa', A. R. 2018. Pengaruh Massa Mordan Tunjung terhadap Hasil Pewarnaan dengan Kulit Buah Asam Sweettamarind menggunakan Teknik Tie Dye. E-Journal, 41-47. 8. Nissa, N. B. 2017. Pengaruh Jenis Mordan Terhadap Kualitas Warna Kain Rayon Viskosa Yang Dicelup Dengan Menggunakan Ekstrak Kulit Pesang Kepok. Artikel Skripsi. 9. Paraetia, D. E. 2012. Pengambilan Zat Warna Alami dari Kayu Nangka. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, 502-507. 10. Pringgenies, D. E. 2013. Aplikasi Pewarna Bahan Alam Manggrove Untuk Bahan Batik Sebagai Diversifikasi Usaha Di Desa Binaan Kabupaten Semarang. Jurnal Info LPPM, 1-10. 11. Sachan, K. a. 2007. Optimization of Extraxtion and Dyeing Conditions for Traditional Turmeric Dye. IJTK, 270-278. 12. Samanta, A. K. 2009. Application of Natural Dyes on Textiles. Indian Journal of Fibre & Textile Research, 384-399. 13. Siva, R. 2007. Status of Natural Dyes anf Dye-yielding Plants in India. 916-92. 16 14. Sofyan, F. d. 2016. Pengaruh Suhu dan Lama Pencelupan Benang Katun Pada Pewarnaan Alami Ekstrak Gambir Uncaia gabir Roxb. Jurnal Litbang Industri, 25-37. 15. Subositi, N. 2016. Potensi Rumput Liar Gulma Sebagai Pewarna Alam Batik Sutera. Artikel Skripsi. 16. Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung Alfabeta. 17. Suheryanto. 2010. Optimalisasi Celupan Ekstrak Daun Mangga Pada Kain Batik Katun Dengan Iring Kapur. Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses Universitas Diponegoro. Semarang. 18. Sunarya, I. K. 2012. Zat Warna Alam Alternatif Warna Batik yang Menarik. Jurnal Inotek, 103-121. 19. Thomas, M. e. 2013. Pemanfaatan Zat Warna Alam Dari Ekstrak Kulit Akar Mengkudu Pada Kain Katun. Jurnal Kimia, 119-126. 20. Torachman, M. 2009. Eksperimen Zat Pewarna Alami Dari Bahan Tunbuhan Yang Ramah Lingkungan Sebagai Alternatif Untuk Pewarnaan Kain Batik. Bandung Universitas Pendidikan Indonesia. 21. Vankar, P. S. 2009. Dyeing Cotton, Silk, and Wool Yarn with Extract of Garnicia Mangostana Pericarp. JTATM. Riyan Nur ArifahAriyana DamayantiPenggunaan pewarnaan tekstil yang tepat agar hasilnya maksimal. Teknik celup pada kain denim dan teknik semprot pada pewarnaan alam jarang ditemui, sehingga menjadi inovasi yang perlu dikembangkan. Lingkungan penulis memiliki potensi bahan baku yang dapat dibudidayakan untuk peluang usaha di bidang pertanian. Permasalahan yang dihadapi yaitu bagaimana proses pembuatan pewarna alam sebagai pewarna tekstil, bagaimana hasil pewarnaan alam pada pembuatan ready to wear. Tujuannya untuk mengetahui proses pembuatan pewarna alam sebagai pewarna tekstil, untuk mengetahui hasil pewarna alam pada pembuatan ready to wear. Metodologi penilitian yang digunakan yaitu RD dan analisis data diskriptif. Hasil dari penerapan teknik pewarnaan tie dye, celup dan semprot menggunakan indigofera dan jelawe pada kain denim dan katun dengan fiksasi menghasilkan warna yang berbeda. Bahan jelawe menghasilkan warna kuning kecoklatan dan indigofera menghasilkan warna biru. Kain denim memiliki hasil yang bagus menggunakan warna jelawe dan teknik celup. Kain katun memiliki hasil yang bagus pada kedua warna menggunakan teknik celup dan semprot. Warna indigofera tidak dapat menggunakan teknik semprot karena memiliki tekstur pasta yang sulit menempel. Fiksasi tunjung menghasilkan warna gelap, kapur menjadikan warna sedikit cerah dan tawas menjadikan warna cerah. Saran yang dari penelitian ini yaitu cara pewarnaan menggunakan warna dasar yang sama agar warna D MaulinaSita NurmasitahA DamayantiTo reduce the negative impact caused by synthetic dyes, development and exploration are carried out with the use of Siam weeds Eupatorium odoratum L as an alternative. It has main component such as tannin, phenol, flavonoids, saponins and steroid. The method in the study used a quasi – experimental design with a control group research design with descriptive analysis. To make the color solutions by hot extraction, pre-mordant using alum was carried out in 15 times. The post mordanting process used 3 types of mordant; alum, quicklime, and tunjung . Organoleptic test used to test the contrast, the suitability of the dyeing result, and the color of eco-print motif using the pounding technique. The result showed that Siam weed can be used as natural dyes for textile. The color direction of dyeing with mordant alum fixation produced a dawn blue, quicklime produced silver cloud, and tunjung produced dusty olive. While the color result of eco-print on alum fixation was tea color, quicklime was mistletoe and olive branch, and tunjung was deep lichen green. The dark color result on the tunjung fixation and the lightness color on alum dyes re-extraction of raw gambier was used as a dye on cotton yarn. Al2 SO43, FeSO4 and CaO was used as a mordant with post-mordanting method. Dyeing process was done through a few stages; re-extracting of raw gambier, bleaching of cotton yarn, dyeing with gambier solution extract, mordanting with post-mordanting method, and finishing. Dyeing process was carried out at temperature of 30, 50, and 70⁰C with dyeing time 5, 15, and 25 minutes. Analysis of tannin content and particle size was conducted on raw gambier, gambier solution extract and remaining of dyeing solution. Cotton yarn which had been dyed with extracts of gambier evaluated its tensile strength, elongation, shrink yarn, intensity, color direction, and color fastness. The result showed that the hidhest color streght was obtained at 70⁰C dyeing and 25 minutes dyeing time using CaO mordant. Color fastness to 40⁰C washing with the use of CaO modant was good 4. The value of rubbing and light fastness was good until very good 4-5 for all treatments. All treatments with the same mordant shown to have similar of color direction visually, however quantitatively each of sample had a different significant on intensity and direction of alam gambir digunakan sebagai pewarna pada benang katun melalui ekstraksi ulang dari gambir asalan. Al2SO43, FeSO4 dan CaO digunakan sebagai mordan dengan metoda pasca mordanting. Proses pencelupan dilakukan melalui tahapan; ekstraksi ulang gambir asalan, pengelantangan benang katun, pencelupan dengan larutan ekstrak gambir, pemordanan dengan metoda pasca mordanting, dan finishing. Proses pencelupan dilakukan pada suhu 30, 50 dan 70⁰C dengan lama pencelupan 5, 15 dan 25 menit. Analisis kadar tanin dan ukuran partikel dilakukan terhadap gambir asalan, larutan ekstrak gambir dan larutan sisa pencelupan. Benang katun yang telah diwarnai dengan ekstrak gambir dievaluasi kekuatan tarik, mulur, mengkeret benang, intensitas, corak dan ketahanan luntur warnanya. Hasil penelitian didapatkan bahwa intensitas warna tertinggi terdapat pada pencelupan 70⁰C dan waktu pencelupan 25 menit dengan menggunakan mordan CaO. Ketahanan luntur warna terhadap pencucian 40⁰C dengan penggunaan mordan CaO bernilai baik 4. Nilai ketahanan luntur warna terhadap penyeterikaan dan sinar matahari adalah baik sampai sangat baik 4-5 untuk semua pelakuan. Semua perlakuan dengan mordan yang sama terlihat mempunyai arah warna yang sama secara visual, namun secara kuantitatif masing-masing memiliki perbedaan intensitas dan arah warna yang cukup Masyarakat desa Gemawang, Kecamatan Jambu di kabupaten Semarang telah memulai usaha kecil menengah dalam porduksi batik dengan pewarna bahan alam indigo. Namun permasalahan yang muncul adalah dominasi warna yang ditemukan hanya monoton pada warna hijau dan biru. Dari permasalahan tersebut, Tim Pengabdian Ilmu Kelautan melakukan uji lanjutan modifikasi warna bahan alam untuk mengaplikasikan bahan alam dari darat dan dari laut yang jarang ditemukan dalam pemasaran pewarnaan bahan alam. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan warna alam yang menarik dan bervariasi dari tambahan warna tanaman mangrove dalam peningkatan kreatifitas sebagai upaya perluasan pasar batik di desa Gemawang, Kecamatan jambu Kabupaten Semarang. Materi penelitian yang digunakan adalah daun dan batang tanaman mangrove yang di ekstraksi dan selanjutnya hasil ekstraksi dengan menggunakan fiksasi tawas, kapur dan tunjung dicelupkan pada kain untuk mendapatkan warna yang kuat dan tidak luntur. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pewarnaan dari daun dan batang pada 6 jenis tanaman mangrove yaitu Sorenasia alba, Rizophora sp, Avecenia sp, Ceripos decandra, Lumicera sp memperlihatkan warna yang hampir sama, yakni dari warna coklat muda hingga coklat tua gelap. Hasil pewarnaan alam mangrove memperlihatkan variasi warna terang, yang berbeda, tidak luntur terjadi pada batang dan daun jenis Agriceros sp serta batang dan daun jenis Lumicera sp. Warna alam dari daun mangrove jenis Agriceros sp dengan fiksasi gabungan kapur dan tunjung tampak warna lebih kuat, dan tidak gelap serta tidak luntur. Kata kunci mangrove, warna, pigmen, batik, GemawangNana Chintya Budi UtamiAbstrak Penelitian ini bertujuan 1 menentukan rasio kombinasi pelarut etanol 96%-air yang optimal untuk ekstraksi tannin daun sirsak, 2 menentukan waktu ekstraksi yang optimal untuk ekstraksi tannin daun sirsak, 3 menentukan bahan fiksasi yang tepat agar dihasilkan ketahanan luntur warna yang optimal untuk pewarna alami tannin daun sirsak, dan 4 Menemukan zat pewarna alami dari daun sirsak yang dapat diaplikasikan sebagai pewarna alami tekstil yang berkualitas dan ramah lingkungan. Penelitian menggunakan metode eksperimen. Daun sirsak dikeringkan, dihaluskan, kemudian disokletasi pada suhu 80˚C rasio pelarut etanol-air = 11, 12, 14, waktu ekstraksi = 1, 2, 3 jam. Analisa kualitatif tannin dengan metode FeCl 3. Analisis kuantitatif tannin dengan metode Folin-ciocalteu. Proses pewarnaan kain meliputi mordanting , pewarnaan, fiksasi dengan tunjung, kapur, tawas. Uji ketahanan luntur warna dengan Laundrymeter dan Crockmeter. Hasil penelitian 1 rasio kombinasi pelarut etanol 96%-air yang optimal untuk ekstraksi tannin daun sirsak adalah 11, 2 waktu ekstraksi optimal untuk ekstraksi tannin daun sirsak adalah 2 jam, 3 bahan fiksasi yang menghasilkan ketahanan luntur warna yang optimal untuk pewarna alami daun sirsak adalah tawas, dan 4 ekstrak daun sirsak dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami tekstil dengan ketahanan luntur warna yang baik serta ramah lingkungan. Kata-kata kunci ekstraksi, tannin, daun sirsak, pewarna alami Abstract This research aims to 1 determine the optimum ratio of ethanol-water for the extraction of tannin from soursop leaves, 2 determine the optimum time for the extraction of tannin from soursop leaves, 3 determine the proper fixation material to produce optimal color fastness of natural dyes tannin from soursop leaves, dan 4 find a natural dye from soursop leaves that can be applied as a natural dye in textiles with high quality and environmentally friendly. This research used experimental method. Soursop leaf was extracted using soxhletation methods at 80 o C rasio of ethanol-water = 11, 12, 14, extraction time = 1, 2, 3 hours. The tannin qualitative test done with FeCl 3 method.. The tannin quantitative test done with Folin-Ciocalteu method. Dyeing process included mordanting , coloring, fixation with Tunjung, chalk, and Tawas. The color fastness was tested with Laundrymeter and Crockmeter. The research concluded that 1 the optimum ratio of ethanol-water for extraction of tannins from soursop leaves is 1 1, 2 the optimum time for extraction of tannin from soursop leaves is 2 hours, 3 fixation material that produces optimal color fastness of natural dyes soursop leaves is tawas, dan 4 the soursop leaf extract can be used as natural dyes in textiles that have good color fastness and environmentally extract of pericarp of Garcinia was prepared by sonicator for quick extraction of the colorant and has been used for dyeing cotton, silk and wool yarn. 1-2% of premordanting with metal salts of Al, Sn, Fe, Cr and Cu was done. Fe, cu and Cr are best suited mordants for garcinia. The hue color ranged from camel brown to dark chocolate brown. The color strength K/S has been found to be very good in dyed samples. The fastness properties have also been evaluated and were found to be well above the acceptable paper reports the studies available on the characterization and chemical/biochemical analysis of natural dyes; extraction of colorants from different natural sources; effects of different mordants and mordanting methods; conventional and non-conventional methods of natural dyeing; physico-chemical studies on dyeing process variables and dyeing kinetics; development of newer shades and analysis of colour parameters for textiles dyed with natural dyes; and test of compatibility for application of binary mixture of natural dyes. The chemical modification of textile substrate for improving dyeability, attempts for improvement in overall colour fastness properties and survey of some traditional processes of natural dyeing in different parts of India have also been discussed. Rita KantColor is the main attraction of any fabric. No mat-ter how excellent its constitution, if unsuitably colored it is bound to be a failure as a commercial fabric. Manufacture and use of synthetic dyes for fabric dyeing has therefore become a massive industry today. In fact the art of applying color to fabric has been known to mankind since 3500 BC. WH Perkins in 1856 discovered the use of syn-thetic dyes. Synthetic dyes have provided a wide range of colorfast, bright hues. However their toxic nature has become a cause of grave con-cern to environmentalists. Use of synthetic dyes has an adverse effect on all forms of life. Pres-ence of sulphur, naphthol, vat dyes, nitrates, ac-etic acid, soaps, enzymes chromium compounds and heavy metals like copper, arsenic, lead, cad-mium, mercury, nickel, and cobalt and certain auxiliary chemicals all collectively make the te-xtile effluent highly toxic. Other harmful chem-icals present in the water may be formaldehyde based dye fixing agents, chlorinated stain remo-vers, hydro carbon based softeners, non bio deg-radable dyeing chemicals. These organic mate-rials react with many disinfectants especially chl-orine and form by products DBP'S that are often carcinogenic and therefore undesirable. Many of these show allergic reactions. The colloidal mat-ter present along with colors and oily scum in-creases the turbidity, gives the water a bad ap-pearance and foul smell and prevents the pene-tration of sunlight necessary for the process of photosynthesis. This in turn interferes with the Oxygen transfer mechanism at air water interface which in turn interferes with marine life and self purification process of water. This effluent if al-lowed to flow in the fields' clogs the pores of the soil resulting in loss of soil productivity. If allowed to flow in drains and rivers it effects the quality of drinking water in hand pumps making it unfit for human consumption. It is important to remove these pollutants from the waste waters before their final disposal. Ramamoorthy SivaIndians have been considered as forerunners in the art of natural dyeing. Natural dyes find use in the colouring of textiles, drugs, cosmetics, etc. Owing to their non-toxic effects, they are also used for colouring various food products. In India, there are more than 450 plants that can yield dyes. In addition to their dye-yielding characteristics, some of these plants also possess medicinal value. Though there is a large plant resource base, little has been exploited so far. Due to lack of availability of precise technical knowledge on the extracting and dyeing technique, it has not commercially succeeded like the synthetic dyes. Although indigenous knowledge system has been practised over the years in the past, the use of natural dyes has diminished over generations due to lack of documentation. Also there is not much information available on databases of either dye-yielding plants or their products. In this article we review the availability of natural dyes, their extraction, applications, mordant types, advantages and disadvantages. Debasish DasSubhash Chandra BhattacharyaSilk and wool fabrics have been dyed employing extract of seeds of annato Bixa orellana in absence and presence of magnesium sulphate, aluminium sulphate and ferrous sulphate. Colouration of both the fibres is found to be most effectively accomplished at pH commonly in the absence and presence of such inorganic salts. Colour uptake for wool is found to be more than that for silk under all the conditions studied. The use of ferrous sulphate produces significant improvement in colour uptake when both the substrates are treated with such salt prior to application of annato. Coloured protein fibres, in general, produce light and wash fastness ratings of 2-3. Ferrous sulphate, however, improves colour fastness properties and colour retention on washing of wool and silk SachanVP KapoorWater soluble yellow dye was extracted from turmeric rhizomes Curcuma longa L., collected from Lucknow, Shillong and from local market, through aqueous/solvent extraction procedure using vacuum evaporator and spray drying of aqueous extract. Shillong sample was found to contain higher dye content followed by Lucknow sample and market sample Shillong sample was also been found to be rich in curcumin with compare to other samples Dyeing experiments were performed under different conditions of direct dyeing, pre-fixing treatment, mordanting treatment or/and simultaneous mordanting. 2% dyeing at 50-55 º C for 30-60 min was most appropriate to obtain good dyeing results. Numerous shades were obtained with good wash fastness properties. Emphasis has been laid to ensure ecofriendly dyeing profiles using soft or natural mordants and no salt of heavy metals were Alami Daun SIrsak Annona muricata L untuk Kain Mori Primissima Kajian Jenis dan Konsentrasi FiksasiS D AnzaniAnzani, S. D. 2016. PEwarna Alami Daun SIrsak Annona muricata L untuk Kain Mori Primissima Kajian Jenis dan Konsentrasi Fiksasi. Jurnal Teknologi dan Manajemen Agroindustri, 132-129.
Bahanalami apa saja yang bisa kamu gunakan untuk mewarnai rambut? Yuk, cek di sini. 1. Kopi ilustrasi kopi ( Untuk kamu yang ingin tampil keren dengan rambut hitam terawat serta jauh dari uban, kamu bisa menggunakan kopi sebagai bahan alami untuk mewarnai rambut kamu. Authors DOI Keywords Pelarut, Pewarna, Kulit Ubi Ungu Abstract Zat warna banyak digunakan pada berbagai macam industri. Zat warna menurut asalnya terdiri dari zat warna alami dan zat warna sintetik. Bahan pewarna sintetis lebih banyak digunakan karena mudah diperoleh dan penggunaannya praktis, tetapi penggunaan pewarna sintetis ini dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan. Peningkatan kesadaran akan kesehatan dan lingkungan, produksi pewarna alami sebagai pewarna yang direkomendasikan. Zat pewarna alami dapat diperoleh dari tumbuhan maupun hewan. Salah satu tumbuhan yang mengandung zat warna alami adalah limbah kulit ubi ungu. Proses pembuatan pewarna alami dari limbah kulit ubi ungu sangat dipengaruhi dari jenis pelarut yang digunakan untuk mendapatkan hasil yang maksimal ditinjau dari kandungan antioksidan, kadar air dan derajat warna. Metode ekstraksi yang sesuai dalam pembuatan pewarna kulit ubi ungu adalah metode maserasi. Pelarut yang paling optimal adalah dengan dengan menggunakan pelarut campuran berupa Etanol dengan Asam Sitrat berdasarkan hasil kadar air, kandungan antioksidan dan derajat warna.
Teknikpewarnaan colet dengan remasol adalah sebagai berikut: a) Larutkan remasol dalam air panas kemudian tambahkan poliron dan ludigol. Aduk hingga merata, perbandingan Remasol : Poliron : Ludigol = 1 : 1/2 : 1/2 . Perbandingan remazol dan air panas yaitu 3 gr : 50/100 cc air. b) Tunggu sampai larutan tersebut dingin, apabila sudah dingin
Connection timed out Error code 522 2023-06-16 195016 UTC Host Error What happened? The initial connection between Cloudflare's network and the origin web server timed out. As a result, the web page can not be displayed. What can I do? If you're a visitor of this website Please try again in a few minutes. If you're the owner of this website Contact your hosting provider letting them know your web server is not completing requests. An Error 522 means that the request was able to connect to your web server, but that the request didn't finish. The most likely cause is that something on your server is hogging resources. Additional troubleshooting information here. Cloudflare Ray ID 7d8593eeff4cb6fe • Your IP • Performance & security by Cloudflare
Takheran banyak orang yang memburu jajanan tradisional ini.Kue basah tradisional biasanya mengandung bahan-bahan yang bergizi dan tidak mengandung pengawet, sehingga sangat cocok untuk anak-anak pula. Nah, bagi kamu yang ingin membuat sendiri kue basah tradisional, caranya gampang banget kok.
Setelah mempelajari dasar membuat sabun mandi cold process dan kamu ingin lebih dari sekedar membuat sabun mandi yang biasa. Kamu bisa menambahkan aditif zat tambahan. Ada berbagai macam aditif yang bisa kamu gunakan untuk menambah atau meningkatkan fungsi dari sabun mandi. Salah satunya pewarna. Pewarna pada sabun mandi merupakan aditif yang dapat meningkatkan estetika sabun mandi atau bisa mempercantik sabun mandi yang kamu buat. Bisa menghasilkan sabun mandi yang unik dan berbeda daripada yang lain. Dan sangat menyenangkan bermain dengan pewarna ini. Maka dalam tutorial kali ini saya akan membahas tentang penggunaan pewarna dan sedikit teknik untuk mewarnai sabun mandi. Menggunakan pewarna pada sabun mandi hanya masalah selera saja. Kamu juga bisa bereksperimen sendiri mengenai teknik pewarnaan yang menurutmu paling cantik dan bisa menuangkan kreatifitas melalui pewarna. Disini saya hanya memberikan beberapa panduan dasar dan tipsnya saja. Berikut yang bisa kamu pelajari Jenis Pewarna Sabun MandiLangkah-langkah Mewarnai Sabun MandiTips Menggunakan Pewarna Sabun Mandi Jenis Pewarna Untuk Sabun Mandi Ada berbagai macam pewarna yang bisa kamu gunakan untuk mewarnai sabun mandi antara lain Pewarna MakananPigmentMicaPewarna Alami Untuk mewarnai sabun mandi kamu bisa memilih antara pewarna yang alami maupun pewarna sintetis. Ketika memilih pewarna sintetis sebaiknya pastikan dahulu jika pewana tersebut aman digunakan untuk kosmetik cosmetic grade atau aman untuk kulit. Berikut penjelasan dari beberapa jenis pewarna diatas Pewarna Makanan Kamu bisa menggunakan pewarna makanan yang banyak tersedia di supermarket atau toko roti untuk mewarnai sabun mandi buatanmu. Biasanya tersedia dalam bentuk cair ataupun dalam bentuk serbuk. Tapi… jenis pewarna ini hanya cocok untuk mewarnai sabun mandi cair, hot process atau melt and pour saja. Saya tidak menganjurkan untuk menggunakan jenis pewarna ini untuk sabun mandi cold process. Karena jenis pewarna ini tidak tahan terhadap kondisi yang basa pH tinggi / alkaline. Ketika membuat sabun mandi dengan teknik cold process, adonan sabun mandi masih terlalu alkaline. Sehingga jika kita menambahkan pewarna makanan ini maka pewarnanya akan berubah menjadi coklat atau berubah ke warna yang lainnya. Tidak sesuai dengan warna aslinya. Jika pada sabun mandi cair, hot process ataupun melt and pour, pewarna makanan ini masih bisa digunakan. Karena kondisi sabun mandinya juga lebih mendukung, sudah tidak ada lagi alkali bebas yang terkandung dalam sabun mandi dan proses saponifikasinya sudah selesai. Warna yang dihasilkan juga tidak terlalu cerah “bright”, malah cenderung agak kusam dari warna awalnya. Seiring berjalannya waktu juga akan semakin memudar. Pewarna makanan juga tidak termasuk ke dalam pewarna yang alami atau natural. Pigment Merupakan pewarna yang diperoleh dari hasil penambangan dari dalam bumi. Banyak digunakan di berbagai macam industri mulai dari cat, tinta, pewarna plastik, tekstil, makanan maupun kosmetik. Pigment saat ini banyak diproses secara sintetis, untuk menghindari kontaminan. Untuk lebih detail mengenai pigment bisa kamu baca di halaman wikipedia ini. Pigment merupakan pewarna yang paling stabil untuk digunakan pada sabun mandi cold process. Pewarna ini menghasilkan warna yang tetap stabil untuk pH tinggi dan tidak berubah ,pudar maupun luntur. Cenderung menghasilkan warna yang gelap dan tidak tembus pandang. Ada berbagai macam jenis pigment yang tersedia antara lain iron oxide, titanium dioxide, ultramarine, zinc oxide, lake pigment, dsb. Titanium dan zinc oxide merupakan jenis pigment yang paling banyak digunakan dalam produk-produk perawatan kulit maupun makeup. Memiliki fungsi sebagai pelindung kulit dari sinar matahari atau physical sunscreen yang efektif untuk menangkal radiasi sinar UVA atau UVB dan tetap aman untuk kulit berdasarkan pada penelitian The National Center for Biotechnology Information. Jika digunakan dalam sabun mandi titanium dan zinc oxide ini akan menghasilkan warna putih. Dan jika dicampurkan dengan warna-warna yang lain akan menghasilkan warna pastel. Selalu pastikan pigment yang kamu gunakan aman untuk kulit atau memiliki grade cosmetic. Jangan menggunakan grade teknis, karena masih mengandung banyak zat-zat yang berbahaya untuk kulit. Mica Hampir sama dengan pigment, mica juga merupakan mineral yang diperoleh dari hasil penambangan. Banyak juga digunakan pada berbagai macam industri, termasuk juga industri kosmetik. Lebih detail mengenai mica bisa dilihat di halaman ini. Pewarna mica dihasilkan dari sejenis batu mineral mica yang kemudian digiling atau dihaluskan dan kemudian dicampurkan dengan pewarna, baik itu pewarna makanan maupun pigment. Dan tentunya melalui proses purifikasi atau pemurnian terlebih dahulu sebelum aman untuk digunakan. Dalam penggunaanya untuk sabun mandi, pewarna mica ini menghasilkan warna yang transparan. Sangat baik untuk mewarnai sabun melt and pour atau sabun transparan. Untuk sabun mandi cold process mica tidak akan menghasilkan warna yang transparan. Dan ada beberapa jenis mica yang tidak tahan terhadap sabun mandi cold process. Pewarna Alami Ini yang paling membuatmu paling tergila-gila, menggunakan pewarna alami dalam sabun mandi. Tapi… Pada kenyataannya menggunakan pewarna alami tidak begitu menghasilkan sabun dengan warna yang kuat maupun cerah. Malah kebanyakan pewarna alami ini kurang begitu tahan terhadap kondisi basa pH tinggi sabun mandi. Jadi, kadang ada yang berubah, ada yang bisa tahan, ada yang luntur, dsb. Dibalik kelemahannya, pewarna alami juga memiliki kelebihan dibanding dengan pewarna sintetis. Ketika menambahkan pewarna alami kita tidak hanya mendapatkan warna saja pada sabunnya tapi kita juga bisa mendapat tambahan manfaat dari bahan alami tersebut. Ada berbagai macam bahan alami untuk mewarnai sabun mandi, seperti bubuk kopi, bubuk coklat, karbon aktif activated charcoal, berbagai macam jenis clay, serbuk bahan alami, dsb. Kamu bisa melihat disini daftar pewarna alami apa saja yang biasa digunakan untuk sabun mandi. Kamu bisa bereksperimen sendiri dengan bahan-bahan alami jika menggunakan jenis pewarna ini untuk menentukan pewarna mana yang paling cocok. Langkah-langkah Mewarnai Sabun Mandi Setelah mengetahui beberapa jenis pewarna dalam sabun mandi, saatnya untuk mencoba pewarna tersebut. Ada berbagai macam teknik untuk memberikan pewarna sabun mandi, mulai dari embed, funnel pour, layering, swirl, dsb. Kamu bisa bereksperimen sendiri mengenai teknik-teknik pewarnaan yang menurutmu paling cantik. Atau kamu juga bisa melihat teknik-teknik yang sering digunakan oleh Soapqueen. Disini saya menggunakan pewarna dari jenis pigment dan mencoba untuk menggunakan teknik swirl. Jumlah pewarna yang bisa kamu tambahkan juga bergantung dari warna yang ingin dihasilkan. Tidak ada ketentuannya. Tapi tetap jangan menambahkan terlalu banyak, hehe… Langkah 1 – Bahan Apa Saja Yang Kamu Butuhkan? Pada dasarnya bahan-bahan yang saya gunakan hampir sama dengan resep dasar cold process, cukup menambahkan pewangi dan pewarna saja. Kamu bisa menggunakan formula favoritmu sendiri dan menghitung alkalinya menggunakan lye calculator. Disini saya menggunakan 3 kombinasi minyak yaitu minyak kelapa sawit, kelapa dan canola. Saya mengganti olive oil dengan canola oil supaya lebih murah saja, hehe.. Berikut bahan yang saya gunakan Bahan Cold Process Soap Minyak Kelapa Sawit Palm Oil – 300 gramMinyak Kelapa Coconut Oil – 225 gramMinyak Kanola Canola Oil – 225 gramNaOH Lye – 109 gramAir Aqua – 140 gram Pewarna dan Pewangi Titanium Dioxide – sekitar 1 sendok makanRed Iron Oxide – sekitar ¼ sendok tehUltramarine Blue – sekitar ¼ sendok tehEssential Oil Optional – 30 gram Langkah 2 – Siapkan Pewangi dan Pewarna Sabun Sebelum mulai membuat sabunnya, siapkan pewarnanya terlebih dahulu supaya lebih mudah saat mencampurkannya. Disini saya melarutkan pewarna tersebut ke dalam canola oil, saya memisahkan sekitar 30 gram dari resep di atas untuk melarutkan pewarna. Untuk titanium dioxide, kamu bisa mencampurnya langsung ke dalam minyak dan jika kamu pingin menghasilkan warna pastel. Tapi, sebaiknya dipisah untuk memudahkan melihat campurannya sudah homogen atau belum. Langkah 3 – Buat Sabun Secara Cold Process Siapkan NaOH dan kemudian larutkan ke dalam air. Peringatan! Selalu masukkan NaOH ke dalam air, jangan melakukan sebaliknya! Aduk sebentar, kemudian biarkan hingga semua NaOH larut ke dalam minyak dan jika ada minyak yang masih menggumpal panaskan sebentar hingga semua semua NaOH sudah larut ke dalam air dan larutannya masih panas, langsung saja masukkan ke dalam baik tidak menunggu hingga dingin, karena nanti adonannya akan cepat mengeras dan sulit untuk mencampur pewarnanya. Kemudian blender hingga homogen atau sampai light trace. Kurang lebih 30-50 detik sudah bisa menambah essential oil pada tahap ini, tapi harus diperhatikan jangan sampai adonan menjadi padat, karena ada beberapa essential oil yang bisa mempercepat trace. Aduk menggunakan spatula atau whisk sudah cukup. Langkah 4 – Campur Pewarna Siapkan wadah untuk memisah warna yang akan kita tambahkan. Masukkan tiap warna ke dalam masing masing wadah. Kemudian aduk menggunakan spatula atau whisk untuk meratakan warna, tidak perlu menggunakan stick blender karena akan mempercepat adonan menjadi kental dan keras. Ketika semua warna sudah tercampur, saatnya untuk berkreasi. Kamu bisa mengkreasikan sesuai imajinasimu sendiri. Disini saya hanya menggunakan teknik teknik ini lebih cocok untuk cetakan yang permukaanya lebar dan pendek, tapi karena saya hanya ada cetakan yang tinggi jadinya hasilnya agak kurang maksimal, hehe…Tuang setiap warna membentuk garis lurus dari ujung ke ujung. Sesuaikan jumlah dan susunannya. Tuang semua adonan sampai habis dan terisi semua di wadah..Siapkan sumpit kayu atau stainless steel. Masukkan ke dalam cetakan ke bagian paling pojok hingga dasar cetakan. Gerakkan sumpit secara bergelombang atau membentuk huruf S dari ujung atas ke ujung bawah. Masukkan lagi sumpit ke bagian paling pojok kali ini gerakkan sumpit secara bergelombang dari ujung kanan hingga kiri. Banting cetakan untuk menghilangkan gelembung udara dan tutup cetakan dengan handuk atau kain. Simpan selama 24-48 jam. Setelah 24-48 jam keluarkan dari cetakan dan potong sabun. Simpan di tempat yang kering dengan sirkulasi udara yang baik, biarkan selama 3-4 minggu sebelum siap pakai. Dan jangan lupa untuk tes pH menggunakan phenolphthalein. ** Ya… agak berantakan sih, haha.. Kamu bisa melakukannya lebih baik dari saya. Tips Menggunakan Pewarna Sabun Mandi Jika kamu merasa sabun yang buatanmu kurang menarik, kamu masih bisa memperbaiki sabun mandi dengan menggunakan teknik rebatch. Berikut merupakan beberapa hal yang harus kamu perhatikan jika menambahkan pewarna dan tips untuk mengatasinya Jenis Cetakan Sabun Untuk membuat sabun mandi dengan berbagai macam desain, sebaiknya memiliki 2 jenis cetakan. Satu cetakan yang memanjang dan agak tinggi, dan satunya lagi cetakan dengan permukaan yang lebar. Sehingga kamu bisa lebih leluasa untuk bereksperimen dengan desain-desain yang lebih menarik. Kamu juga bisa membuat sendiri cetakan tersebut menggunakan kayu ataupun kardus bekas. Melarutkan Pewarna Mayoritas pewarna untuk sabun mandi masih dalam bentuk serbuk. Untuk membuat serbuk tersebut tercampur rata kita bisa menggunakan pelarut, supaya saat pencampuran pewarnanya menjadi rata dan tidak menggumpal. Tiap jenis pewarna membutuhkan pelarut yang berbeda-beda. Seperti contohnya pewarna dari jenis pigment dan mica membutuhkan pelarut minyak, clay membutuhkan air. Kamu bisa melarutkan ke dalam minyak-minyak yang ringan, seperti canola, grapeseed, sunflower, sweet almond, dsb. Tapi kamu juga harus mengaduknya dengan mini frother, supaya pewarna tersebut tercampur rata. Selain itu juga kamu bisa melarutkan pewarna tersebut ke dalam gliserin. Gliserin merupakan pelarut yang sangat baik, cukup campurkan sedikit maka semua warna akan larut. Tapi perlu diperhatikan juga jika menggunakan gliserin dalam cold process, kadang akan muncul glycerine river dalam sabunnya. Ini tidak berbahaya, hanya secara estetika kurang begitu baik. Kamu harus mengurangi jumlah air yang dibutuhkan juga, jika menggunakan gliserin sebagai pelarutnya. Komposisi Minyak Resep minyak dalam tutorial ini memang sengaja menggunakan komposisi hard oil minyak kelapa dan kelapa sawit yang tinggi, untuk menghasilkan sabun yang cukup keras. Supaya lebih mudah dalam menggunakan pewarna sebenarnya komposisi minyaknya bisa menggunakan soft oil canola, sunflower, olive, dll yang tinggi, sekitar 60-70%. Tapi kamu juga harus menambahkan pengeras supaya sabunnya tidak terlalu lembek saat sudah jadi. Kamu bisa menambahkan sodium lactate untuk membuat sabun dengan komposisi soft oil yang tinggi, kurang lebih 1-2 sendok makan per 1 kg sabun. Campurkan ke dalam larutan alkali. Suhu Adonan Sabun Mandi Suhu dingin akan membuat adonan sabun menjadi cepat kental dan mengeras. Sangat sulit mencampurkan pewarnanya ke dalam adonan yang sudah mengental. Sebaliknya, suhu panas akan membuat adonan sabunnya tetap agak encer. Lebih mudah untuk mencampurkan pewarna ke dalam adonan sabun mandi. Begitu semua NaOH larut dan sudah agak bening larutannya, langsung saja masukkan larutan tersebut ke dalam minyak. Penggunaan Essential Oil atau Fragrance Oil Ada beberapa jenis essential atau fragrance oil yang dapat mempercepat trace. Jika kamu menambahkan saat sebelum menambahkan pewarna, maka adonan sabun akan menjadi cepat kental dan sulit untuk melakukan teknik pewarnaan. Untuk lebih aman, kamu bisa menambahkan setelah pewarna. Kecuali jika kamu sudah yakin essential atau fragrance oil yang kamu gunakan tidak mempengaruhi trace, kamu bisa menambahkan sebelum pewarna. Gel Phase Pada Sabun Sabun cold process akan mengalami gel phase, saat sabun tersebut mulai mengeras dan proses saponifikasi berlanjut di cetakan. Suhu akan meningkat dan terjadilah gel phase. Untuk informasi lebih lanjut mengenai gel phase bisa dibaca disini. Jika kita memberi warna pada sabun, kita bisa menghasilkan warna yang cerah dengan memanfaatkan gel phase ini. Tapi perlu diperhatikan juga jika sabun mengalami gel phase, kadang juga ada kejadian gel phase muncul hanya sebgaian partial gel phase, biasanya di bagian tengah saja. Yang membuat warnanya menjadi ada seperti gradasinya. Walapun tidak berbahaya dan tidak mempengaruhi fungsi sabun, tapi kadang secara estetika agak kurang baik. Terutama jika menggunakan teknik swirl akan terlihat kurang menarik. Jika ingin menghindari proses gel phase, kamu bisa menyimpan sabun di tempat yang dingin seperti lemari es, setelah menuangkan adonan sabun ke cetakan. Buat Sabun Mandi Paling Unik Dengan Menambahkan Pewarna Pada awalnya menambahkan pewarna terlihat sedikit rumit. Mulai dari berbagai pilihan pewarna yang tersedia, belum lagi teknik-tekniknya. Tapi ketika kamu sudah mulai mencobanya, maka semuanya akan terasa lebih mudah. Apalagi jika hasilnya sesuai dengan yang kita harapkan. Semua kerumitan tersebut akan terbayar. Dan kita juga bisa mendapatan sabun mandi yang sudah terkenal baik fungsinya didukung dengan penampakan yang unik dan nggak pasaran. Kamubisa bereksperimen sendiri dengan bahan-bahan alami jika menggunakan jenis pewarna ini untuk menentukan pewarna mana yang paling cocok. Disini saya melarutkan pewarna tersebut ke dalam canola oil, saya memisahkan sekitar 30 gram dari resep di atas untuk melarutkan pewarna. Untuk titanium dioxide, kamu bisa mencampurnya langsung ke Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mencari alternatif bahan pewarna alami tekstil dengan menggunakan ekstrak buah karamunting Melastoma malabathricum sebagai bahan penggantinya. Metode yang akan dipakai adalah metode eksperimen untuk mengetahui kemampuan ekstrak buah karamunting Melastoma malabathricum sebagai pewarna alami berbagai jenis bahan tekstil. Pengukuran dilakukan satu kali dalam waktu yang bersamaan. Kegiatan yang dilaksanakan adalah pembuatan ekstrak buah karamunting Melastoma malabathricum, uji kandungan kimia ekstrak buah karamunting Melastoma malabathricum, dan pewarnaan beberapa jenis kain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alternatif bahan pewarna alami tekstil dengan menggunakan ekstrak buah karamunting Melastoma malabathricum sebagai bahan penggantinya. Dimana dari hasil uji kandungan kimia ekstrak buah karamunting yang tertinggi adalah zat flavonoid, tanin, dan polifenol, sedangkan kandungan kimia yang terendah adalah zat alkaloid. Dari hasil uji zat warna ekstrak buah karamunting pada berbagai jenis kain Asianteks adalah jenis yang kualitas warna kainnya paling baik dengan lama waktu penyerapan zat warna kain adalah 30 menit. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free p-ISSN 2502-101X Volume 4 Nomor 2 Tahun 2019 e-ISSN 2598-2400 EKSAKTA Jurnal Penelitian dan Pembelajaran MIPA│x UJI KANDUNGAN KIMIA EKSTRAK BUAH KARAMUNTING Melastoma malabathricum SEBAGAI UPAYA MENGHASILKAN BAHAN PEWARNA ALAMI TEKSTIL Jerni Larahmah1, Hotni Arista Harahap1, Ledy Yolanda Pasaribu1, Melvariani Syari Batubara1. 1 Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatane-mail melvarianisyari Abstract The goal to be achieved is to find alternative natural textile dyes using caramunting fruit extract Melastoma malabathricum as a substitute material. The method that will be used is the experimental method to determine the ability of caramunting fruit extract Melastoma malabathricum as a natural dye of various types of textile materials. Measurements are made once at the same time. The activities carried out were the making of caramunting fruit extract Melastoma malabathricum, chemical content testing of caramunting fruit extract Melastoma malabathricum, and coloring of several types of fabric. The results of this study indicate that alternative natural textile dyes using caramunting fruit extract Melastoma malabathricum as a substitute material. Where from the results of the test of the chemical content of caramunting fruit extracts the highest were flavonoids, tannins and polyphenols, while the lowest chemical content was alkaloids. From the test results of caramunting fruit extract dyes on various types of Asianteks fabric is the type with the best quality of fabric color with a long time absorption of fabric dyes is 30 minutes. Keywords Caramunting fruit, Melastoma malabathricum, natural dye, Textile Abstrak Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mencari alternatif bahan pewarna alami tekstil dengan menggunakan ekstrak buah karamunting Melastoma malabathricum sebagai bahan penggantinya. Metode yang akan dipakai adalah metode eksperimen untuk mengetahui kemampuan ekstrak buah karamunting Melastoma malabathricum sebagai pewarna alami berbagai jenis bahan tekstil. Pengukuran dilakukan satu kali dalam waktu yang bersamaan. Kegiatan yang dilaksanakan adalah pembuatan ekstrak buah karamunting Melastoma malabathricum, uji kandungan kimia ekstrak buah karamunting Melastoma malabathricum, dan pewarnaan beberapa jenis kain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alternatif bahan pewarna alami tekstil dengan menggunakan ekstrak buah karamunting Melastoma malabathricum sebagai bahan penggantinya. Dimana dari hasil uji kandungan kimia ekstrak buah karamunting yang tertinggi adalah zat flavonoid, tanin, dan polifenol, sedangkan kandungan kimia yang terendah adalah zat alkaloid. Dari hasil uji zat warna ekstrak buah karamunting pada berbagai jenis kain Asianteks adalah jenis yang kualitas warna kainnya paling baik dengan lama waktu penyerapan zat warna kain adalah 30 menit. Kata Kunci Buah karamunting, Melastoma malabathricum, Pewarna alami, tekstil PENDAHULUAN Karamunting sangat digemari oleh anak-anak sewaktu kecil, dan karamunting biasa tumbuh di sekitar hutan atau di pinggir rumah dengan tinggi ± 1 m bahkan ada setinggi orang dewasa di padang terbuka. Dengan rasa gurih dan manis tak lepas dari ecapan lidah ketika menikmatinya. Mungkin sekarang, sudah jarang terlihat karena maraknya lahan perumahan dan pertanian holtikultura yang Vol 4 No 2 Tahun 2019 Hal 79 –134 x menggantikannya. Ada istilah tak perlu dirawat, tapi tetap tumbuh dan berkembang serta menghasilkan bunga yang indah dan buah berwarna ungu dari kelopaknya. Kedengarannya agak mustahil untuk diolah, dikemas atau dibuat sebagai bahan pewarna alami baik sebagai pewarna makanan atau pewarna tekstil, tapi semua mungkin saja terjadi, asal ada keinginan kuat untuk berpikir mengolahnya dari biasa menjadi sesuatu yang bernilai tambah. Secara ekonomis, biaya yang dikeluarkan atau dibutuhkan minim untuk mengolahnya. Penelitian ini untuk mengkaji peran karamunting Melastoma malabathricum terutama buahnya dari sesuatu yang tidak akan bermanfaat bagi orang banyak menjadi bermanfaat yang dapat teruji secara ilmiah dan bernilai secara ekonomis. Maraknya industri pangan dan tekstil yang ada saat ini tidak diimbangi dengan kenaikan kualitas produk yang dihasilkan serta tingkat keamanan bahan yang digunakan. Dari pengamatan fitokimia ekstrak buah karamunting mengandung phenol, flavonoid, dan antosianin. Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi Jumiati, 2017 METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimen untuk mengetahui kemampuan ekstrak buah karamunting Melastoma malabathricum sebagai pewarna alami berbagai jenis bahan tekstil. Pengukuran dilakukan satu kali dalam waktu yang bersamaan. Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah karamunting Melastoma malabathricum yang diperoleh dari desa Simarsayang, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Pemilihan buah karamunting Melastoma malabathricum yang berkualitas baik, kriteria buah karamunting yang berkualitas adalah diambil langsung dari pohonnya, buah tidak busuk dan berwarna ungu segar, dan buah yang dipetik adalah buah yang matang. Gambar 1. Pembuatan Ekstrak Buah Karamunting Melastoma malabathricum dimaserasi ±1 hari dalam pelarut etanol 96% yang telah didestilasi dimasukkan ke dalam botol kaca steril dirotavapor pada suhu 600C etanol 96% ±1 hari dan Vol x No x Tahun 2019 Hal 79 –134 x 1. Uji Kandungan Kimia Ekstrak Buah Karamunting Melastoma malabathricum a. Uji Zat Fenolik 1 g FeCl3 + 100 ml akuades b. Uji Zat Flavonoid 15 g Mgs + HClp + 250 ml NH4OHp c. Uji Zat Alkaloid - Pereaksi Wagner 2 g KI + 1,27 g Iodium + 100 ml akuades - Pereaksi Meyer 1,596 g HgCl2 + 5 g KI + 100 ml akuades - Pereaksi Dragendorff 8 g Bismut Nitrat + 20 ml HNO3 + 27,2 g KI + 80 ml akuades d. Uji Zat Steroid Pereaksi Lieberman-Burchad H2SO4p + CH3COOH an-hidrid dengan perbandingan 1 20, v/v 2. Pewarnaan Langkah awal dalam pewarnaan adalah melarutkan zat pewarna alami yaitu ekstrak buah karamunting Melastoma malabathricum yang hendak digunakan menggunakan air atau medium lain yang dapat melarutkan zat warna tersebut, kemudian beberapa jenis kain kain dimasukkan ke dalam larutan zat pewarna alami tersebut atau dengan dicolet dengan larutan tersebut sehingga terjadi penyerapan zat ke dalam serat HASIL DAN PEMBAHASAN Dilakukan pengujian kandungan zat kimia ekstrak etanol buah karamunting Melastoma malabathricum menggunakan Uji Zat Fenolik, Uji Zat Flavonoid, Uji Zat Alkaloid, dan Uji Zat Steroid. Tabel 1. Hasil Uji Kandungan Kimia Ekstrak Buah Karamunting Keterangan + ditemukan dalam kandungan sangat rendah ; ++ ditemukan dalam kandungan rendah ; +++ ditemukan dalam kandungan tinggi Dari Tabel 1. terlihat bahwa kandungan kimia ekstrak buah karamunting yang paling tinggi didapatkan dari zat flavonoida, tanin, polifenol dan steroida & minyak atsiri, sedangkan zat alkaloid didapatkan dalam kandungan sangat rendah. Diantara 6 macam zat kimia ekstrak buah karamunting yang didapatkan tersebut, kemungkinan yang dapat menjadi bahan pewarna alami tekstil adalah zat flavonoida dan tannin. Senyawa flavonoid pada umumnya terdapat pada tumbuhan tinggi yang merupakan hasil metabolisme yang terdistribusi ke seluruh jaringan tumbuhan, seperti terkandung dalam biji, buah, kulit batang, akar dan getah dari tumbuhan, disamping itu juga terdapat pada beberapa jenis serangga. Senyawa flavonoid ini pada umumnya memberikan warna yang cantik Vol 4 No 2 Tahun 2019 Hal 79 –134 x dan menarik, warna yang cantik ini berfungsi sebagai penarik serangga dan hewan dalam penyerbukan dan penyebaran biji tumbuhan. Disamping itu senyawa flavonoid yang terkandung dalam bunga, buah, daun, dan akar tumbuhan juga bersifat racun, yang berfungsi untuk melindungi tumbuhan dari serangga dan binatang hama, serta tumbuhan gulma Harborne, 1987. Gambar 2. Buah dan Tanaman Karamunting Melastoma malabathricum Tanin merupakan senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawa polifenol kompleks. Tanin tersebar dalam setiap tanaman yang berbatang. Tanin berada dalam jumlah tertentu, biasanya berada pada bagian yang spesifik tanaman seperti daun, buah, akar dan batang. Tanin merupakan senyawa kompleks, biasanya merupakan campuran polifenol yang sukar untuk dipisahkan karena tidak dalam bentuk kristal. Tanin biasanya berupa senyawa amorf, higroskopis, berwarna coklat kuning yang larut dalam organik yang polar Robert, 1997. Tabel 2. Hasil Uji Zat Warna Ekstrak Buah Karamunting pada Kain Lama Waktu Penyerapan Zat Warna menit Keterangan - kurang baik ; + cukup baik ; ++ baik ; +++ sangat baik Dari Tabel 2. terlihat bahwa lama waktu penyerapan zat warna dari ekstrak buah karamunting yang paling baik adalah pada jenis kain trikote yaitu sekitar 30 menit, sedangkan jenis kain roberto adalah yang paling tidak baik dalam penyerapan zat warna karena setelah lebih dari 24 jam tidak dapat menyerap zat warna dari ekstrak buah karamunting. Diantara 4 jenis kain yang diuji tersebut yang paling baik kualitas warna kainnya adalah kain asianteks, hal ini disebabkan karena jenis kain asianteks adalah kain yang bahan baku pembuatannya dari kapas. Menurut Seman 2007 ditinjau dari proses pewarnaannya, pewarna kain pada zaman dahulu dibuat dari bahan-bahan yang bersifat alami. Ada 6 warna utama kain yang dibuat dari zat pewarna alami antara lain Kuning, bahan pembuatannya adalah kunyit atau temulawak; Merah, bahan pembuatannya adalah gambir, buah mengkudu, cabai merah, atau kesumba; Hijau, bahan pembuatannya adalah daun pudak atau jahe; Hitam, bahan pembuatannya adalah kebuau atau uar; Ungu, bahan-bahan pembuatannya adalah biji buah gandaria; Coklat, bahan pembuatannya adalah uar atau disebut juga kulit buah rambutan. Supaya warna-warnanya menjadi lebih tua, lebih muda, dan supaya tahan lebih lama bahan pewarna tersebut dicampur Vol x No x Tahun 2019 Hal 79 –134 x dengan rempah-rempah lain seperti garam, jintan, lada, pala, cengkeh, jeruk nipis, kapur, tawas, cuka, atau terasi. Gambar 3. Hasil Uji Pewarnaan Beberapa Jenis Kain pada Ekstrak Buah Karamunting Menurut Winarsih 2015 langkah awal dalam pewarnaan adalah melarutkan zat pewarna yang hendak digunakan menggunakan air atau medium lain yang dapat melarutkan zat warna tersebut, kemudian kain yang telah dijahit dimasukkan ke dalam larutan zat pewarna atau dengan dicolet dengan larutan tersebut sehingga terjadi penyerapan zat ke dalam serat. Ada tiga cara pewarnaan kain, yaitu pencelupan, pencoletan, dan pencelupan sekaligus pencoletan. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah alternatif bahan pewarna alami tekstil dengan menggunakan ekstrak buah karamunting Melastoma malabathricum sebagai bahan penggantinya. Dimana dari hasil uji kandungan kimia ekstrak buah karamunting yang tertinggi adalah zat flavonoid, tanin, dan polifenol, sedangkan kandungan kimia yang terendah adalah zat alkaloid. Dari hasil uji zat warna ekstrak buah karamunting pada berbagai jenis kain Asianteks adalah jenis yang kualitas warna kainnya paling baik dengan lama waktu penyerapan zat warna kain adalah 30 menit. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Para peneliti mengekspresikan apresiasi kepada Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan UMTS untuk bantuan teknisnya. DAFTAR PUSTAKA Chairul, M. Harapini, dan Y. Daryati. 1996. Pengaruh Ekstrak Kencur Kaempferia galanga L. Terhadap Kehamilan Mencit Putih Mus musculus. Seminar Nasional Indonesia IV. Jakarta ; Lab. Treub Puslitbang Biologi LIPI, Bogor dan Fakultas Farmasi Universitas 17 Agustus 1945. Darmawati, I. A. P., G. Wijana, A. A. M. Astiningsih, I. A. Mayun dan N. L. M. Pradnyawathi. 2016. Identifikasi dan karakterisasi Tanaman Pewarna Alam Tenun Pegringsingan Desa Tenganan. Agrotrop 6 1 10-18. Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Cetakan kedua. Bandung ; Penerbit ITB Jumiati, E., Mardhiana, I. M. Abdiani. 2017. Pemanfaatan Buah Karamunting Sebagai Pewarna Alami Makanan. Agrifor 16 2. Vol 4 No 2 Tahun 2019 Hal 79 –134 x Kelana, T. B., 2012. Isolasi, Elusidasi Struktur Dan Uji “Brine Shrimp” Kandungan Kimia Utama Daun Ficus deltoideus JACIC. VAR Bilobata. Tesis. Padang ; Program Pasca Sarjana Universitas Andalas Kholis, N. 2016. Kain Tradisional Sasirangan “Irma Sasirangan” Kampung Melayu Kalimantan Selatan. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta. Pirnanda, D., H. Sumantri dan Prasetyo. 2016. Panduan Lapangan Pengenalan Jenis Tumbuhan di Kawasan Ekosistem Hutan dataran Rendah, Sumatera Selatan. Biodiversity and Climate Cange Project. Robert, 1997. Aloe Vera A Scientific Approach. Vantage Press, Inc. New York. Seman, S. 2007. Sasirangan Kain Khas Banjar. Kalimantan Selatan Lembaga Pengkajian dan Pelestarian Budaya Banjar. Winarsih, T. 2015. Kain Sasirangan dan Asal-usul Batik di Indonesia Pinilih. ... Penelitian lainnya oleh Larahmah dkk., 2019 didapatkan hasil bahwa bagian buah karamunting mengandung senyawa steroid, flavonoid, polifenol, tanin, dan minyak atsiri [16]. Pada bunga karamunting mengandung senyawa saponin, flavonoid, dan tanin [17]. Pada ranting dan batang karamunting mengandung saponin, steroid, flavonoid, tanin, dan alkaloid. ...Luhde Manik SugiantinaNi Putu Eka LeliqiaKaramunting Melastoma malabatchricum L. mempunyai manfaat bagi kesehatan, diantaranya sebagaii aktivitas antibakteri. Artikel ini disusun guna memberikan informasi tentang kandungan fitokimia, aktivitas antibakteri, dan toksisitas dari karamunting. Metode yang digunakan adalah studi literatur dari beberapa artikel ilmiah yang telah diterbitkan, baik secara nasional dan internasional. Bagian tanaman karamunting yang dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri adalah daun, ranting, bunga, batang, dan akar, kemudian dilakukan ekstraksi menggunakan metode maserasi. Adapun pelarut yang digunakan seperti, n-butanol, metanol, etil asetat, etanol, dan n-heksan. Dari hasil kajian menunjukkan bahwa karamunting mengandung metabolit primer dan sekunder, yaitu karbohidrat, alkaloid, fenol, steroid, flavonoid, triterpenoid, tanin, dan saponin. Karamunting terbukti menghambat pertumbuhan Propionibacterium acnes, Escherichia coli Staphylococcus aureus, Salmonella typhi, Salmonella dysenteriae, Shigella sp, dan Pseudomonas aeruginosa. Senyawa yang terkandung dalam karamunting terutama flavonoid, saponin, dan tanin, dianggap bertanggung jawab atas aktivitas antibakterinya. Hasil penelitian uji toksisitas in vitro menyatakan bahwa, ekstrak daun dan batang karamunting termasuk dalam kategori toksik. Sedangkan uji toksisitas in vivo pada daun karamunting dikategorikan toksik peneliti mengekspresikan apresiasi kepada Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan UMTS untuk bantuan teknisnyaM Daftar Pustaka ChairulDan Y HarapiniDaryatiUCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Para peneliti mengekspresikan apresiasi kepada Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan UMTS untuk bantuan teknisnya. DAFTAR PUSTAKA Chairul, M. Harapini, dan Y. Daryati. 1996. Pengaruh Ekstrak Kencur Kaempferia galanga L. Terhadap Kehamilan Mencit Putih Mus musculus. Seminar Nasional Indonesia IV. Jakarta ; Lab. Treub Puslitbang Biologi LIPI, Bogor dan Fakultas Farmasi Universitas 17 Agustus dan karakterisasi Tanaman Pewarna Alam Tenun Pegringsingan Desa TengananI A P DarmawatiG WijanaA A M AstiningsihI A Mayun DanN L M PradnyawathiDarmawati, I. A. P., G. Wijana, A. A. M. Astiningsih, I. A. Mayun dan N. L. M. Pradnyawathi. 2016. Identifikasi dan karakterisasi Tanaman Pewarna Alam Tenun Pegringsingan Desa Tenganan. Agrotrop 6 1 Fitokimia. Cetakan kedua. BandungJ B HarbornePenerbitE JumiatiI M MardhianaAbdianiHarborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Cetakan kedua. Bandung ; Penerbit ITB Jumiati, E., Mardhiana, I. M. Abdiani. 2017. Pemanfaatan Buah Karamunting Sebagai Pewarna Alami Makanan. Agrifor 16 2.Kandungan Kimia Utama Daun Ficus deltoideus JACIC. VAR Bilobata. Tesis. Padang ; Program Pasca Sarjana Universitas Andalas Kholis, N. 2016. Kain Tradisional Sasirangan "Irma SasiranganT B KelanaElusidasi IsolasiStruktur DanUjiKelana, T. B., 2012. Isolasi, Elusidasi Struktur Dan Uji "Brine Shrimp" Kandungan Kimia Utama Daun Ficus deltoideus JACIC. VAR Bilobata. Tesis. Padang ; Program Pasca Sarjana Universitas Andalas Kholis, N. 2016. Kain Tradisional Sasirangan "Irma Sasirangan" Kampung Melayu Kalimantan Selatan. Skripsi. Universitas Negeri Lapangan Pengenalan Jenis Tumbuhan di Kawasan Ekosistem Hutan dataran RendahD PirnandaH Sumantri DanR B PrasetyoPirnanda, D., H. Sumantri dan Prasetyo. 2016. Panduan Lapangan Pengenalan Jenis Tumbuhan di Kawasan Ekosistem Hutan dataran Rendah, Sumatera Selatan. Biodiversity and Climate Cange Vera A Scientific ApproachH D RobertRobert, 1997. Aloe Vera A Scientific Approach. Vantage Press, Inc. New Kain Khas BanjarS SemanSeman, S. 2007. Sasirangan Kain Khas Banjar. Kalimantan Selatan Lembaga Pengkajian dan Pelestarian Budaya Banjar. untukmelarutkan bahan pewarna menggunakan. hangat C.tiner D.bensin E.air dingin

Memberikanpewarna pada kain Melarutkan/menghilangkan lilin di atas kain menggunakan air panas Membilas kain dean mengeringkannya Dengan menggunakan canting cap, proses membuat pola menjadi lebih cepat. Sehingga, proses pembuatan batik dengan teknik printing menjadi lebih singkat. 3. Teknik Celup Ikat

Untukpewarnaannya menggunakan bahan pewarna. Teknik dalam pembuatan batik. Yeni Fisnani dalam buku Modul Digital Muatan Lokal Batik (2019), menjelaskan jika pada dasarnya teknik pembuatan batik dibagi menjadi tiga, yakni batik tulis, batik cap, serta batik kombinasi.

Crf9eWN.
  • udda9607ih.pages.dev/411
  • udda9607ih.pages.dev/57
  • udda9607ih.pages.dev/153
  • udda9607ih.pages.dev/259
  • udda9607ih.pages.dev/444
  • udda9607ih.pages.dev/233
  • udda9607ih.pages.dev/469
  • udda9607ih.pages.dev/134
  • untuk melarutkan bahan pewarna menggunakan